30 September 2012

Ranah 3 Warna


Ini ni, lanjutan dari novel 'Negeri 5 Menara'. Bagus banget ni buku, sama bagus sama pendahulunya, pokoknya baca deh ni buku. Kalau mau beli buruan, soalnya stoknya semakin menipis nih. Dijamin gak akan nyesel deh.

Oke gue mau ceritain sinopsis dari novel ini

Alif, seorang anak asal Maninjau, Sumatra Barat telah menamatkan pendidikannya di Pondok Madani. Lalu pulang ke kampung dengan hati yang mantap, karena telah diajarkan berbagai ilmu yang sangat penting dalam hidup ini.

Setelah tamat, dia ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Tujuannya, yaitu Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung, seperti mantan presiden B.J. Habibie. Tapi Alif menyadari bahwa perjuangannya tidak mudah, banyak orang yang meragukan kemampuannya karena hanya karena ia seorang lulusan pondok. Bahkan Randai yang telah menjadi sahabatnya sejak kecil pun meragukannya. Tapi Alif tidak menyerah, dia ingin mematahkan segala prasangka buruk orang-orang terhadapnya.

Namun, Alif menyadari perjuangannya ini tidak mudah. Banyak pelajaran yang tidak dapat dikuasainya. Dan, akhirnya Alif menyerah dari tujuannya, yaitu Teknik Penerbangan di ITB. Alif mengambil jalur IPS yang lebih mudah untuk dikuasainya.

Alif memilih jurusan Hubungan Internasional, dia tertarik dengan jurusan itu karena ingin menjejakkan kaki di benua Amerika yang selama ini diimpikannya. Ketika Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN) tiba, Alif kebingungan menjawab berbagai soal. Akhirnya, ujian pun selesai dan Alif hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Allah SWT.

Dan ketika pengumuman UMPTN datang, Alif akhirnya di terima di jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. Alif sangat bersyukur dapat melanjutkan pendidikannya di kota yang ingin ia jejaki, walaupun tujuannya melenceng dari ITB ke UNPAD.

Berbekal doa dari orang tuanya, sekaligus sebuah sepatu yang diberikan oleh ayahnya yang dijulukinya 'Si Hitam'. Akhirnya, Alif pun mantap untuk pergi ke Bandung.

Disana pun dia bertemu dengan teman-temannya yang baru, yaitu Wira dari Malang, Agam dari Palembang, dan Memet dari Sumedang. Mereka pun menamai diri mereka dengan sebutan 'Geng Uno'. Semua suka duka dialaminya bersama Geng Uno, tetapi itulah yang membuat mereka semakin dekat dan akrab.

Ada seorang wanita, Raisa namanya. Alif betul-betul terpesona melihat Raisa. Dan tak disangka-sangka ternyata Raisa juga kuliah di UNPAD, namun beda jurusan. Dia tinggal di depan kos Alif, tentu saja dia juga kos disitu. Itulah kenapa Alif selalu menyebutnya dengan sebutan 'Tetangga Berkilau'.

Alif pun mulai menimba ilmu di UNPAD dan dia memilih dunia tulis-menulis sebagai kegiatannya di luar jam kuliah. Dibimbing oleh seorang yang tegas dan tanpa ampun, Togar Perangin-angin namanya, atau biasa dipanggil Bang Togar. Alif pun mulai menulis berbagai artikel di berbagai media massa.

Ketika dia sedang menikmati kehidupannya di Bandung, tiba-tiba datanglah kabar kalau ayahnya sakit. Lalu, Alif kembali pulang ke Maninjau untuk melihat keadaan ayahnya. Dan, tak lama setelah ayahnya sakit itu, ayahnya pun meninggal dunia.

Alif pun kembali ke Bandung dengan diiringi kesedihan hati yang menggandrunginya. Nilai-nilai kuliahnya pun betul-betul menurun karena kondisi hatinya yang masih dirundung pilu. Ada keinginan untuk kembali pulang ke kampung halamannya untuk menghidupi amak dan adik-adiknya. Namun, amak melarangnya pulang dengan kata-kata ancaman, "jangan kau coba-coba pulang, sebelum kau menyelesaikan apa yang telah kau mulai".

Kata-kata itu betul-betul menusuk hatinya, tapi itulah yang membuat dia semangat kembali. Alif berkerja disamping kegiatan kuliah. Usaha kerasnya itu ternyata membuat keadaan tubuhnya menjadi tak baik. Alif terserang penyakit dan harus beristirahat di rumah selama seminggu.

Rasa putus asa pun mulai menyerang pikiran dan hati Alif. Tapi, tiba-tiba dia teringat dengan salah satu pepatah yang dulu dia dengar di PM, 'man shabara zhafira', artinya 'siapa yang bersabar, pasti dia akan beruntung'.

Ya, kata-kata itulah yang mulai membakar semangat Alif. Alif pun kembali menjalani kehidupannya yang keras di Bandung, walau begitu Alif tetap bersabar dan tetap 'man jadda wajadda', 'siapa yang bersungguh-sungguh, pasti dia akan berhasil'.

Dan Alif pun sudah bisa mengirim uang ke keluarganya di Maninjau, itulah impian Alif sejak pertama kali di Bandung. Namun ada lagi impian Alif yang belum terwujud, Amerika.

Ternyata ada sebuah program untuk semua mahasiswa di seluruh Indonesia untuk dapat ke luar negeri dan tentu saja harus melalui tes dan seleksi yang ketat. Tak disangka-sangka, Raisa dan Randai juga mengikuti program ini.

Alif pun lolos dari segala tes dan seleksi yang ketat. Namun ada yang ia takuti, yaitu tes kesehatan. Dia takut kalau virus yang membuatnya sakit tifus yang sudah sembuh itu masih tertinggal di tubuhnya. Dan Alif pun lolos tes kesehatan dan tujuan yang telah ditentukan adalah : Quebec, Kanada.

Raisa ternyata satu kelompok dengannya dan itulah yang membuatnya betul-betul senang. Melalui perjuangannya yang panjang, akhirnya Alif pun membuat sejarah dalam hidupnya, yaitu pertama kali dia naik pesawat dan langsung ke luar negeri. Perjalanan pun dilakukan. Mereka transit sebentar di Amman, Yordania. Timur Tengah, itulah tanah yang dijejaki Alif dan teman-temannya. Tanah tempat para nabi lahir dan menjalankan tugas yang mulia.

Setelah berjalan-jalan mengelilingi Amman, tibalah saatnya untuk kembali pergi. Dan tujuannya adalah : Kanada. Melalui perjalanan yang panjang, akhirnya mereka pun tiba di tujuan mereka sesungguhnya, Kanada. Alif betul-betul senang, dalam waktu beberapa hari saja sudah 3 tanah yang berbeda warna yang telah ia dan 'Si Hitam' jejaki, yaitu tanah airnya Indonesia, tanah para nabi Timur Tengah, dan tanah benua Amerika yang telah lama menjadi impiannya.

Di Kanada, Alif banyak mempelajari banyak hal yang baik dan juga mengajarkan yang baik kepada penduduk di sana. Dan tak terasa sudah beberapa bulan mereka tinggal disana dan tibalah saatnya untuk berpisah. Orang tua angkat Alif dengan berat hati melepas Alif pergi, seperti melepas anak kandungnya sendiri. Alif berjanji, dia pasti akan kembali kesini walau dia tak tahu kapan itu terjadi.

2 tahun setelah pulang dari Kanada Alif pun lulus dari kuliahnya di UNPAD. Dia mengajak amak dan adik-adiknya untuk melihat saat-saat ia diwisuda. Amak pun berkata "seandainya ayahmu melihatmu tegak mandiri, seandainya ayah tahu kalau engkau telah sampai di benua Amerika, seandainya ayah tahu kalau hari ini engkau diwisuda, tentu dialah ayah yang paling bahagia di seluruh dunia".

Alif betul-betul terharu, perjuangannya sampai saat ini tidak sia-sia. Sudah dia rasakan semua pahitnya hidup, tapi itulah motivasi yang membuat Alif tegak kembali. Allah sungguh mendengar apa yang ia cita-cita kan.

Man jadda wajadda. Man shabara zhafira.